top of page
Writer's pictureGwen Winarno

My Experience with Panic Attack


Pertama kali dalam hidup merasakan yang namanya panic attack itu di akhir tahun 2018. Saya sedang mengikuti pelatihan meditasi “silent” selama 12 hari, dan saya kena serangan panic attack 2 hari sebelum pelatihannya berakhir.


Sampai hari ini saya ingat betul rasanya. Jantung berdebar sangat cepat dan kencang, seperti ada kereta api dalam jantung saya. Saya sampai berpikir beginilah rasanya mau kena serangan jantung. Kepala saya berdenyut kencang, rasanya penuh seperti semua darah naik ke kepala dan mau pecah. In my mind, I really thought I was dying. Dan ini terjadi lama sekali, saya sampai tidak bisa lanjut meditasi karena merasa tidak bisa duduk diam, sangat overwhelmed and in shock. Saya ingat saya sampai keluar dari ruangan meditasi, mulai jalan kaki mondar mandir, dan ini lumayan membantu meredakan segala rasa dari panic attacknya.


Saya bertanya kepada yang mengajar meditasi apa yang terjadi? Beliau menjelaskan kalau landasan pikiran saya tipis. Sampai hari ini saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan “landasan pikiran tipis” tapi yang pasti still being physically in shock, hearing this, membuat saya berpikir something is wrong with me, like I’m “broken” or something. Never did the person mention or explain that I was having a panic attack.


Malam itu saya tidak bisa tidur sama sekali, rasanya seperti abis minum kopi 1L. Saya terus terjaga, dalam keadaan takut, khawatir, bingung dan frustrasi. Beberapa kali saya sampai keluar kamar tengah malam, komat kamit berdoa, jalan kaki mondar mandir, karena kalau saya mengerakan tubuh, rasanya jauh lebih enak dan mereda.


Fast forward ke tahun 2021, saya mendapatkan jawaban apa yang terjadi pada diri saya malam itu, ketika mulai mendalami dan mempelajari nervous system. Yang saya alami adalah sebuah episode panic attack. No, landasan pikiran saya tidak tipis (whatever that means). No, I’m not broken. Yang terjadi adalah nervous system saya dysregulated, dimana nervous system saya stuck berada di fight or flight (saraf simpatis), makanya saya mengalami panic attack yang sangat dahsyat.

Pertanyaan saya “koq bisa?”


Mustinya saya merasa tenang setelah 10 hari bermeditasi secara intens. Tapi yang terjadi adalah nervous system saya (saat itu) tidak cocok dibawa duduk meditasi. Nervous system saya malah merasa unsafe ketika dibawa duduk meditasi secara intens, setiap hari, beberapa kali sehari, berjam-jam setiap harinya selama 10 hari. Yang namanya nervous system itu tidak ada yang sama. Ini semua terbentuk oleh pola asuh, conditioning, lifestyle, trauma dan pengalaman hidup kita masing-masing. Dan dari sinilah kita bisa mengalami yang namanya dysregulated nervous system. Kalau memang nervous system masing-masing orang itu berbeda, sudah pasti cara meregulasinya pun berbeda, satu dan lainnya. Apa yang cocok untuk nervous system kamu, belum tentu cocok untuk orang lain, dan sebaliknya. Ketika saya mulai belajar tentang nervous system, ternyata banyak cara-cara (tools) untuk meregulasinya, seperti layaknya, secara nervous system kita juga berbeda dan masing-masing punya keperluan sendiri. Once again, there’s no 1-size-fits all when it comes to nervous system regulation. Saya jadi tahu tools apa yang bisa dipakai ketika mengalami panic attack (by the way, terakhir mengalami panic attack itu sudah sekitar 2 tahun yang lalu. Yay!). Oh dan pastinya segala tools’nya bukan hanya bisa dipakai “in the heat of the moment.” Kalau kita “rajin” melatihnya sehari-hari, kita juga bisa bisa “memperkuat” nervous system kita, sehingga bisa menjadi lebih resilien dan semakin toleran terhadap stres. Apakah saya sama sekali tidak bisa meditasi? Saya sudah bisa meditasi lagi, tapi memang ada cara dan tahapannya sebelum bisa kembali bermeditasi. Kan itu tadi, nervous system saya bukan yang tipenya bisa langsung diajak duduk diam dan bermeditasi.

22 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page