Dalam sesi coaching, client sering memberi pengakuan dengan penuh penyesalan & sangat ga enak hati kalau mereka “cheating” makan sesuatu yang dianggap tidak baik, entah itu makan roti, mie ayam, makan Padang, es krim, gorengan… the list goes on.
Lalu saya bertanya kepada mereka…
❓ Perlukah disebut “cheating?”
❓ Perlukah merasa bersalah & meminta maaf?
❓ Merasa bersalah kepada siapa?
❓ Merasa perlu dimaafkan oleh siapa?
Karena mereka sendiri bukan yang memilih makan makanan itu?
Kata “cheating” punya konotasi negatif. Biasanya kata “cheating” dipakai untuk menjelaskan seseorang yang berhubungan dengan kita (hub romantis, kerja, dll.) “cheating” on us. Mungkin “cheating” dengan uang. Atau dulu ketika masih sekolah kita pernah “cheating” dalam ujian/ulangan.
Suatu hal/perbuatan salah (like committing a crime), dan kadang sampai merasa perlu ada hukumannya (ga makan, diet ketat, olahraga mati-matian, bahkan ada yang larinya ke “purging” atau muntahin makanan, yang bisa lanjut ke eating disorder).
Rasanya tidak perlu disebut “cheating,” it’s ok to say “kemaren saya minum boba” tanpa disebut atau di label “cheating.”
Ga perlu MINTA MAAF juga, kamu tidak berbuat salah kepada siapa pun dengan makan burger/ice cream/cireng/mie instan. Efek apa pun dari makan makanan itu kamu sendiri kan yang merasakan?Bukan pasangan/orangtua/pacar/anak/teman/health coach?
Gimana kalau mulai melihat makanan itu dari segi:
🌿 Apakah makanan itu cocok untuk tubuh kamu?
🌿 Apakah makanan itu dibutuhkan atau berguna untuk tubuh kamu?
🌿 Apakah makanan itu memberi “makan” penyakit/bibit penyakit dalam tubuh kamu?
🌿 Atau justru akan membantu mencegah/melawan penyakit/bibit penyakit kamu?
It’s YOUR body, jadi jawaban untuk pertanyaan diatas pastinya berbeda untuk setiap orang, mengikuti kondisi tubuh kamu masing-masing saat ini.
The only one you need to consider or think of when eating something, is YOURSELF and your body.
Comments